Kamis, 21 Februari 2013

APBD: Boros Pegawai, Pelit Publik


APBD: Boros Aparatur, Pelit Untuk Publik
Oleh: AULIA ROHMAN



Sebagian besar APBD di Kabupaten Gorontalo terhitung sejak 2008 hingga awal 2013, sekitar 63 persen di antaranya habis untuk membayar pegawai, belum termasuk biaya perkantoran. Total sekitar 70 hingga 80 persen APBD terserap untuk biaya pekerja yang bertugas untuk memakmurkan masyarakat. Hanya ada sekitar 20 hingga 30 persen dari APBD yang diperuntukkan untuk memakmurkan rakyat. Di sadari ataupun tidak inilah yang terjadi.
Lemahnya kemauan serta kemampuan daerah dalam mengelolaan keuangan daerah yang besar untuk masyarakat juga masih menjadi  persoalan yang paling mendasar, bagaimana kemudian membangun pemahaman bersama bahwa tugas dan kewajiban PEMDA adalah mengelola keuangan daerah sebesar-besarnya untuk melayani dan memakmurkan masyarakat akan tetapi justru berbanding terbalik dengan sebesar-besarnya untuk pengelola. Pandangan penulis tentu tidak berangkat dari ruang kosong tanpa realitas penganggaran daerah yang bermasalah.
Sangat sederhana segala sesuatu yang menyangkut peningkatan pendapatan daeah sejatinya adalah bersumber dari masyarakat, diantaranya pajak dari rakyat, retribusi dari rakyat, hibah ada karena untuk kepentingan rakyat, hingga hutang negarapun menjadi beban rakyat,  sehingga tidak ada alasan anggaran daerah tidak habis untuk masyarakat karena lagi-lagi posisi Pemerintah hanyalah sebagai pengelola uang rakyat dan pengelolaanya untuk kepentingan rakyat. Berangkat dari Data anggaran daerah di kabupaten Gorontalo, setidaknya telah membuktikan betapa tinggi belanja gaji dan honor aparatur, seiring dengan semakin rendahnya anggaran untuk kepentingan mensejahterakan rakyat. Tahun anggaran 2013 misalnya, perbandingan antara komponen belanja pegawai dengan belanja modal (infrastruktur) publik di daerah ini yang dicermati penulis menggambarkan kenyataan di atas. Pada kabupaten ini, bisa diungkap pula bahwa akibat alokasi Belanja Pegawai yang tinggi, menyebabkan semakin terbatas belanja untuk mensejahterakan rakyatnya. Hal ini dapat dilihat melalui tabel berikut:
Pada APBD murni 2013, kabupaten Gorontalo mengalokasikan untuk gaji, tunjangan dan honorarium PNS mencapai 64% atau 463 Milyar lebih dan belanja modal/infrastruktur 18% atau 131 miliyar lebih dari total belanja daerah. Sementara 13 % atau 93 Milyar lebih di gunakan untuk belanja barang dan jasa serta 6% atau 40 milyar di gunakan untuk honor setiap kali menjalankan program atau kegiatan.
APBD Besar, Kemampuan Lemah
Khusus kabupaten Gorontalo, statistik tiga tahun terakhir menunjukkan alokasi Belanja Pegawai untuk Gaji/Tunjangan/Honorarium setiap tahun selalu mengalami kenaikan pertumbuhan mencapai 11persen Pada realisasi APBD 2010, 67 persen, 2011 64 persen, hingga perubahan 2012 bertahan 63 persen belanja daerah habis untuk belanja pegawai (gaji/honor). Dalam skema APBD kabupaten Gorontalo tahun  2013, untuk belanja gaji dan honorarium pegawai meski telah dialokasikan sebesar Rp. 463  Miliar atau 63,% total belanja daerah, masih dimungkinkan pada APBD perubahan nanti mengalami kenaikan.
Bagaimana belanja modal/infrastruktur? dalam kategori belanja untuk pembangunan  sarana prasarana pendidikan, jalan dan jembatan, irigasi, hanya ada Rp. 131 Miliar lebih pada APBD induk  2013. Dan penting diingat,  dana pembangunan yang sudah kecil ini juga harus juga dialokasikan untuk pembangunan Sarpras aparatur untuk sekretariat daerah termasuk  gedung baru, rumah dinas, kendaraan dinas hingga perlengkapanya yang akan dianggarkan sebesar 6  milyar lebih, belum lagi pembangunan Sarpras aparatur untuk DPRD 413 juta Lebih. Dengan kata lain anggaran yang rencanya 244 untuk public harus di kurang lagi dengan pengadaan atau pembangunan diatas.
Akibatnya tentu hampir mustahil masyarakat khususnya pedesaan di kabupaten Gorontalo bisa merasakan jalan mulus layaknya jalan di depan kantor Pemkab. Mustahil pula bila untuk kinerja Dinas cipta karya, selama 2010 sampai 2013 rata-rata hanya dialokasikan Rp. 46 Miliar atau hanya 6 persen dari total APBD. Lebih khusus lagi pada tahun 2013, untuk Program  Rehabilitasi Jalan di Dinas ini, hanya dialokasikan Rp. 12 M Miliar atau hanya 2 persen  dari total APBD tahun 2013. Sedangkan untuk program pembangunan jalan pada tahun 2013 dianggarkan 23 Milyar atau 3 persen dari total APBD Alokasi belanja sebesar itu tentu masih jauh dari angka rasional, dan penulis yakin Badan Anggaran sekaligus Tim Ahli DPRD (yang konon ada) telah mengetahui dan memahami persoalan ini.
Mengapa? Jika  mengacu standar biaya minimal di Kementerian PU, bahwa biaya Pemeliharaan Berkala jalan membutuhkan Rp 1 milyar per kilometer untuk setiap 3-5 tahun. Atau dengan kata lain, minimal dibutuhkan Rp 200 juta sampai Rp 300 juta untuk pemeliharaan setiap kilometer jalan di kabupaten gorontalo. Dengan perhitungan demikian mungkin wajar bila dengan anggaran rata-rata Rp. 46 Miliar tersebut, tematik “percepatan pembangunan infrastruktur” dalam Nota Keuangan Perubahan APBD 2013 nanti, akan lemah ditingkat realisasi. Dengan skema alokasi anggaran yang ada, sangat mungkin sebagian besar perbaikan jalan hanya dilakukan dengan pengurukan batu kapur atau kasar.
            Belanja infrastruktur harus diprioritaskan, terutama untuk pembangunan jalan sebagai belanja produktif yang sangat potensial menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi daerah. Pendidikan, serta kesehatan sebagai pengukur kemajuan indeks pembangunan manusia,  Dengan infrastruktur transportasi memadai, akan mendorong masyarakat pinggiran (pedesaan) menjadi bagian dari kegiatan ekonomi dengan berbagai inovasi usahanya. Selain memperkecil kesenjangan kemajuan ekonomi antara wilayah kota dengan desa, tentu akan didapati suatu percepatan dalam peningkatan kualitas pelayanan publik, terutama layanan dasar pendidikan dan kesehatan.
            Sayangnya, semakin banyak kalangan yang melihat bahwa transfer dana pemerintah pusat yang semakin melimpah ke daerah, tidak berimbas pada peningkatan APBD untuk pelayanan publik. Kondisi daerah semakin mempertontonkan logika borosnya belanja aparatur, dan pelitnya belanja publik. Tesis demikian masih pantas untuk diperdebatkan, tapi setidaknya untuk menjawab kerisauan dan pertanyaan publik terkait jalan rusak, jauhnya akses pendidikan serta minimnya tenaga medis beserta akses kesehatan yang jauh. demikianlah data yang dimiliki penulis. Wallahu’alam Bissawab.
                                                                              Aulia Rohman
 (aulia.rohman22@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar