APBD: Boros
Aparatur, Pelit Untuk Publik
Oleh:
AULIA ROHMAN
Sebagian besar APBD di Kabupaten
Gorontalo terhitung sejak 2008 hingga awal 2013, sekitar 63 persen di antaranya habis untuk
membayar pegawai, belum termasuk biaya perkantoran. Total sekitar 70 hingga 80
persen APBD terserap untuk biaya pekerja yang bertugas untuk memakmurkan
masyarakat. Hanya ada sekitar 20 hingga 30 persen dari APBD yang diperuntukkan
untuk memakmurkan rakyat. Di sadari ataupun tidak inilah yang terjadi.
Lemahnya kemauan
serta kemampuan daerah dalam mengelolaan keuangan daerah yang besar untuk
masyarakat juga masih menjadi persoalan yang paling mendasar, bagaimana kemudian
membangun pemahaman bersama bahwa tugas dan kewajiban PEMDA adalah mengelola
keuangan daerah sebesar-besarnya untuk melayani dan memakmurkan masyarakat akan
tetapi justru berbanding terbalik dengan sebesar-besarnya untuk pengelola. Pandangan
penulis tentu
tidak berangkat dari ruang kosong tanpa realitas penganggaran daerah yang
bermasalah.
Sangat
sederhana segala sesuatu yang menyangkut peningkatan pendapatan daeah sejatinya
adalah bersumber dari masyarakat, diantaranya pajak dari rakyat, retribusi dari
rakyat, hibah ada karena untuk
kepentingan rakyat, hingga hutang
negarapun menjadi beban rakyat, sehingga tidak ada alasan anggaran daerah
tidak habis untuk masyarakat karena lagi-lagi posisi Pemerintah hanyalah
sebagai pengelola uang rakyat dan pengelolaanya untuk kepentingan rakyat.
Berangkat dari Data
anggaran daerah di kabupaten Gorontalo, setidaknya telah membuktikan betapa
tinggi belanja gaji dan honor aparatur, seiring dengan semakin rendahnya anggaran
untuk kepentingan mensejahterakan rakyat. Tahun anggaran 2013 misalnya, perbandingan antara komponen belanja
pegawai dengan belanja modal (infrastruktur) publik di daerah ini yang dicermati penulis
menggambarkan kenyataan di atas. Pada kabupaten ini, bisa diungkap pula bahwa akibat
alokasi Belanja Pegawai yang tinggi,
menyebabkan semakin terbatas belanja untuk mensejahterakan rakyatnya. Hal ini
dapat dilihat melalui tabel berikut:
Pada APBD murni 2013, kabupaten Gorontalo mengalokasikan untuk
gaji, tunjangan dan honorarium PNS mencapai 64% atau 463 Milyar lebih dan belanja
modal/infrastruktur 18%
atau 131
miliyar lebih dari
total belanja daerah. Sementara 13 % atau 93 Milyar lebih di gunakan untuk
belanja barang dan jasa serta 6% atau 40 milyar di gunakan untuk honor setiap
kali menjalankan program atau kegiatan.
APBD Besar, Kemampuan Lemah
Khusus kabupaten
Gorontalo,
statistik tiga tahun terakhir menunjukkan alokasi Belanja Pegawai untuk
Gaji/Tunjangan/Honorarium setiap tahun selalu mengalami kenaikan pertumbuhan
mencapai 11persen Pada realisasi APBD 2010, 67 persen, 2011 64 persen,
hingga perubahan 2012 bertahan 63 persen belanja daerah habis untuk belanja pegawai (gaji/honor). Dalam
skema APBD kabupaten Gorontalo tahun 2013,
untuk belanja gaji dan honorarium pegawai meski telah dialokasikan sebesar Rp. 463 Miliar atau 63,% total belanja daerah, masih dimungkinkan
pada APBD perubahan nanti mengalami kenaikan.
Bagaimana belanja modal/infrastruktur?
dalam kategori belanja untuk pembangunan
sarana prasarana pendidikan, jalan dan jembatan, irigasi, hanya ada Rp. 131 Miliar lebih pada APBD induk 2013.
Dan penting diingat, dana pembangunan
yang sudah kecil ini juga harus juga dialokasikan untuk pembangunan Sarpras
aparatur untuk sekretariat daerah termasuk
gedung baru, rumah
dinas, kendaraan dinas hingga perlengkapanya yang akan dianggarkan sebesar 6 milyar lebih, belum lagi pembangunan Sarpras
aparatur untuk DPRD 413 juta Lebih. Dengan kata lain anggaran yang rencanya 244
untuk public harus di kurang lagi dengan pengadaan atau pembangunan diatas.
Akibatnya
tentu hampir mustahil masyarakat khususnya
pedesaan di
kabupaten
Gorontalo
bisa merasakan jalan mulus layaknya jalan di depan kantor Pemkab. Mustahil pula
bila untuk kinerja Dinas cipta karya,
selama 2010
sampai 2013 rata-rata hanya
dialokasikan Rp. 46
Miliar atau hanya 6 persen dari total APBD. Lebih khusus lagi pada tahun 2013, untuk Program
Rehabilitasi Jalan di Dinas ini, hanya dialokasikan Rp. 12 M Miliar atau hanya 2 persen dari total APBD tahun 2013. Sedangkan untuk program
pembangunan jalan pada tahun 2013 dianggarkan 23 Milyar atau 3 persen dari total
APBD Alokasi belanja
sebesar itu tentu masih jauh dari angka rasional, dan penulis yakin Badan
Anggaran sekaligus Tim Ahli DPRD (yang konon ada) telah mengetahui dan memahami
persoalan ini.
Mengapa?
Jika mengacu standar biaya minimal di Kementerian
PU, bahwa biaya Pemeliharaan Berkala jalan
membutuhkan Rp 1 milyar
per kilometer untuk setiap 3-5
tahun. Atau dengan
kata lain, minimal dibutuhkan Rp 200 juta
sampai Rp 300 juta untuk pemeliharaan setiap kilometer jalan di kabupaten gorontalo. Dengan perhitungan demikian
mungkin wajar bila dengan anggaran rata-rata Rp. 46 Miliar tersebut, tematik “percepatan
pembangunan infrastruktur” dalam Nota Keuangan Perubahan APBD 2013 nanti, akan lemah ditingkat realisasi.
Dengan skema alokasi anggaran yang ada, sangat mungkin sebagian besar perbaikan
jalan hanya dilakukan dengan pengurukan batu kapur atau kasar.
Belanja
infrastruktur harus diprioritaskan, terutama untuk pembangunan jalan sebagai belanja
produktif yang sangat potensial menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi daerah.
Pendidikan, serta kesehatan sebagai pengukur kemajuan indeks pembangunan
manusia, Dengan infrastruktur transportasi memadai,
akan mendorong masyarakat pinggiran (pedesaan) menjadi bagian dari kegiatan
ekonomi dengan berbagai inovasi usahanya. Selain memperkecil kesenjangan
kemajuan ekonomi antara wilayah kota dengan desa, tentu akan didapati suatu
percepatan dalam peningkatan kualitas pelayanan publik, terutama layanan dasar
pendidikan dan kesehatan.
Sayangnya,
semakin banyak kalangan yang melihat bahwa transfer dana pemerintah pusat yang
semakin melimpah ke daerah, tidak berimbas pada peningkatan APBD untuk
pelayanan publik. Kondisi daerah semakin mempertontonkan logika borosnya
belanja aparatur, dan pelitnya belanja publik. Tesis demikian masih pantas
untuk diperdebatkan, tapi setidaknya untuk menjawab kerisauan dan pertanyaan publik
terkait jalan rusak, jauhnya akses pendidikan serta minimnya tenaga medis
beserta akses kesehatan yang jauh.
demikianlah data yang dimiliki penulis. Wallahu’alam Bissawab.
Aulia Rohman
(aulia.rohman22@yahoo.com)